Perkembangan
Desain Grafis Diberbagai Media
·
Mesin cetak pertama kali didatangkan ke Indonesia
(Batavia) pada tahun 1659
Industri
percetakan di wilayah Nusantara berkembang sejalan dengan penerbitan surat
kabar dan buku yang diperkirakan berkembang sejak abad ke-17, ketika mesin
cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada tahun 1659. Karena tidak ada
operatornya, mesin itu menganggur sampai berpuluh-puluh tahun.
Para pembaca
koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda di awal-awal keberadaannya adalah
orang-orang Eropa, Baru pemerintah jajahan di bawah Daendelslah yang berperan
besar dalam urusan cetak-mencetak dengan membentuk percetakan negara yang
berurusan dengan mencetak peraturan-peraturan Belanda. Maka mulailah dikenal
surat kabar yang tidak hanya memuat informasi yang nilainya ekonomis, tetapi
juga memuat peraturan-peraturan perundangan.
·
Iklan pertama di Hindia Belanda: 17 Agustus 1744
Perintis
tumbuhnya iklan di Hindia Belanda adalah Jan Pieterzoen Coen. Dia pendiri
Batavia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1619-1629. PPPI (Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia) mengakuinya sebagai tokoh periklanan pertama
di Indonesia.
Dalam masa
pemerintahannya, ia mengirim berita ke pemerintah setempat di Ambon dengan
judul Memorie De Nouvelles, yang mana salinannya ditulis dengan tulisan tangan
pada tahun 1621. Tulisan tangannya yang indah ternyata merupakan refleksi dari
naluri bersaing antara pemerintah Hindia Belanda dengan Portugis. Kedua negara
rupanya terlibat dalam perebutan hasil rempah-rempah dari kepulauan Ambon, dan
Jan Pieterzoen Coen „menulis‟ iklan untuk melawan aktivitas perdagangan oleh
Portugis. Lebih dari satu abad kemudian, setelah Jan Pieterzoen Coen meninggal,
tulisan tangannya diterbitkan kembali di surat kabar Batavia Nouvelles pada
tanggal 17 Agustus 1744. Batavia Nouvelles merupakan surat kabar pertama di
Hindia Belanda. Dengan demikian, iklan yang dimuatnya pun merupakan iklan
pertama di Hindia Belanda. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa surat kabar dan
iklan lahir tepat bersamaan di Hindia Belanda. Yang berperan dalam memediakan
kembali iklan tersebut di Hindia Belanda adalah karyawan sekretariat dari
kantor Gubernur Jenderal Imhoff, Jourdans. Surat kabar Batavia Nouvelles hanya
berusia dua tahun.
·
INDUSTRI PERCETAKAN ABAD KE 18-20
Surat kabar yang
pertama kali dicetak adalah De Bataviase Nouvelles terbit di Batavia pada tahun
1744, kemudian De Locomotief terbit pada tahun 1852 di Semarang dan Bataviassch
Niewsblaad terbit di Batavia pada tahun 1885.
Dunia
persuratkabaran milik warga pribumi adalah Bromartani yang terbit di Surakarta
pada tahun 1920-an. (Kartodirjo,1992:112-113) Pada tahun 1776, setelah
pelarangan penerbitan surat kabar De Bataviase Nouvelles pada tanggal 20
November 1745, pemerintah kolonial memberi izin kepada L Dominicus seorang
pakar dalam percetakan untuk menerbitkan mingguan yang diberi nama Het
Vendu-Nieuws (Berita Lelang). Mingguan ini berisi berita lelang
perusahaan-perusahaan perdagangan di bawah VOC. Sedangkan pemasangan iklan
diluar perusahaan VOC dikenakan biaya. Mingguan ini bertahan terbit antara
tahun 1776 hingga 1809. (Riyanto,2000:52-53).
Di abad ke-19,
terbit beberapa surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di antaranya ˜Soerat
Kabar Bahasa Melajoe™ yang diterbitkan di Surabaya pada tahun 1861. Kemudian
˜Bintang Timoer surat kabar dua mingguan yang memuat pelbagai berita
sosial-ekonomi. Kemudian di Semarang pada tahun 1860 terbit Selompret Melajoe
of Semarang. Pada tahun 1883 para pengusaha Cina mulai terlibat usaha
percetakan dan buku, terutama penerbitan buku terjemahan sastra Cina klasik
yang kemudian berkembang menjadi komoditas percetakan yang semakin meluas.
Berkembangnya
industri percetakan merupakan tahap penting dalam keterbukaan budaya, karena di
dalamnya terdapat perluasan dan pelintasan komunikasi verbal maupun gambar.
Rekaman melalui gambar dan penataan huruf di masa tersebut telah tampak sebagai
bagian penting dari industri percetakan. Pada tahun 1919 telah tercatat 120
perusahaan yang mempekerjakan 3.080 orang di industri percetakan, sebagian di
antara kegiatan industri tersebut adalah pekerjaan desain grafis. Tidak
tercatat angka secara pasti berapa jumlah tenaga penata rupa surat kabar, buku,
poster, dan produk cetak lainnya. Demikian pula jumlah ilustrator, perancang
grafis dan fotografer. Selama pemerintahan kolonial, tercatat lebih 3000
seniman bangsa asing (Belanda, Jerman) yang dicatat dalamLexicon of Foreign
Artists Who Visualized Indonesia (1600-1950) dengan pelbagai bidang pekerjaan
seni; di antaranya pelukis, peneliti seni, ilustrator cat air, juru gambar,
pematung, ilustrator, pendesain grafis dan perupa produk industri. Sedangkan
seniman bangsa Indonesia tidak dimasukkan ke dalam leksikon tersebut. Terlepas
dari hal tersebut, fenomena itu menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi cetak
memiliki peran dan makna yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun
demikian, dalam percaturan sejarah kebudayaan, perkembangan karya cetak sebagai
bagian dari peradaban bangsa belum mendapat posisi yang penting.
·
Brosur-brosur pertama untuk “go public”
Pertumbuhan
iklan di jaman Hindia Belanda, sangat dipengaruhi pula oleh masuknya modal
swasta ke sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Karena
perkembangan itu ternyata menumbuhkan kebutuhan baru, berupa pembentukan
lembaga-lembaga penelitian untuk mengembangkan dan mengakumulasi modal mereka,
seperti yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan-perusahaan gula,
Suikersyndicaat, misalnya. Asosiasi ini juga bertugas sebagai lembaga
penelitian, dan sekaligus memproduksi pula brosur-brosur sebagai wahana
informasi dan promosi. Dengan demikian, para calon penanam modal di perusahaan
perkebunan mereka mengetahui seberapa jauh rentabilitas investasi mereka.
Javaasche Bank
menggunakan barang-barang cetakan untuk mengundang modal asing ke Hindia
Belanda. Brosur dan buklet perkenalan mereka umumnya dicetak di percetakan
G.C.T. van Dorp & Co., yang berlokasi di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
·
1938
Pada tahun 1938
berdiri PERSAGI (Persatuan Akhli Gambar Indonesia) di Jakarta dengan anggota
kurang lebih tiga puluh pelukis (di antaranya Agus Djaja sebagai ketua, S.
Sudjojono, Abdul Salam, Sumitro, Sudibio, Sukirno, Suromo, Surono, Setyosa,
Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria Sunasa, dan sejumlah seniman lainnya). Serikat
ini sering dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia.
·
1945
Pada tahun 1943,
Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang
saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat
Serangkai yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur “ memimpin Seksi Kebudayaan Poetera
(Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera
ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S Soedjojono sebagai
penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
·
1960 - 1972 Logo mulai populer
Iklan-iklan
produk konsumen tampak mengalami kemandegan kreativitas, khususnya dalam hal
penulisan naskahnya. Bagian besar rancangan produk iklan dalam negeri bertema
“anjuran memakai” yang tidak monoton. Kata-kata “pakailah selalu” senantiasa
digunakan dalam setiap teks iklan. Struktur verbal iklan masih tetap
dipengaruhi oleh iklan-iklan zaman kolonial. Bahkan mereka pun masih banyak
menggunakan istilah-istilah dari bahasa Belanda, seperti Te Huur (sewa),
Barbier (cukur rambut), Restaurant, atau Te Koop (dijual). Kata-kata ini memang
sering dijumpai diucapkan di radio, atau tertulis dalam kolom-kolom media
cetak.
·
Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979, 1987)
Peristiwa
Desember Hitam itu menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru
(GSRB) pada tahun 1975 yang menghantarkan dunia seni rupa Indonesia melahirkan
pemahaman baru atas persoalan ideologis kesenian; konsepsi estetika dunia seni
rupa; subject matter; batasan-batasan akademik, hingga menyentuh
persoalan-persoalan interpretasi subjektivitas (Seni Grafis Yogyakarta dalam
Wacana Seni Kontemporer, Wiwik Sri Wulandari, 2008, halaman 101-102).
Salah satu
konsep GSRB adalah meniadakan batasan antara seni murni dan seni terapan (baca:
seni tidak murni), dan semua fenomena kesenian termasuk desain pun kemudian
dianggap sederajat. Sepanjang perjalanannya, eksponen GSRB yang juga desainer
grafis tercatat antara lain FX Harsono, Syahrinur Prinka (1947-2004), Wagiono
Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto (1955-2003), Harris Purnama dan
Oentarto.
Pada tahun 1979
Gerakan Seni Rupa Baru membubarkan diri, tetapi sempat dihidupkan kembali pada
tahun 1987. 1979 Penggunaan istilah desain komunikasi visual Gert Dumbar,
seorang desainer grafis Belanda memperkenalkan istilah semiotika dan komunikasi
visual di FSRD ITB. Menurutnya, desain grafis tidak hanya menangani desain
untuk percetakan tetapi juga moving image,display dan pameran. Sejak tahun
1979, istilah desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah
desain grafis.
·
1980 Pameran desain grafis pertama di Indonesia
Pada tanggal
16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, jalan Menteng Raya
25, Jakarta diselenggarakan pameran desain grafis oleh tiga desainer grafis
Indonesia: Hanny Kardinata, Gauri Nasution dan Didit Chris Purnomo, bertajuk
Pameran Rancangan Grafis 80 Hanny, Gauri, Didit•. Pameran ini tercatat sebagai
pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer
grafis Indonesia (Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit Mau Merubah
Dunia, Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Pameran ini membawa misi
memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas, dan agar karya
desain grafis diapresiasi sebagai karya seni.
·
1980 Organisasi desain grafis pertama di Indonesia
Logo IPGI hasil
coretan tangan Sadjiroen, desainer uang Indonesia. Organisasi desain grafis
pertama di Indonesia terbentuk pada tanggal 25 April 1980 dan diresmikan pada
tanggal 24 September 1980 dengan nama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI)
bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk Grafis 80• di
Jakarta yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra
Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta.
·
1980
Akhir 1970 dan
seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin
oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini
mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan, beberapa di antaranya adalah
Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Djodjo
Gozali, S Prinka dan Priyanto Sunarto), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi dan
Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya sudah
ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh AD
Pirous, T Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih mengandalkan pada
disiplin seni grafis juga menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul
buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung.
Periode awal
1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis yang cukup
signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto),
Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo
Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik
(Markoes Djajadiningrat), Studio OK• (Indarsjah Tirtawidjaja dkk), dll.
Pada masa ini,
studio mana pun dituntut bisa mengerjakan pekerjaan apa pun, klien datang
dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai kepada ilustrasi sampul kaset,
desainer bak superman atausuperwoman. Studio grafis tidak punya pilihan lain supaya
bertahan hidup. Ilustrasi menggunakan teknik air brush, dengan gaya
hyper-realism dan Pop Art menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan
ilustrasi di dunia maju (majalah Tempo• dan “Zaman• adalah dua penerbitan yang
mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya). Air brush gun, pensil, kuas, cutter,
Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang
lazim bertengger di meja kerja desainer waktu itu.
Salah satu
desainer yang mempopulerkan aliran Pop Art dengan teknik air brush adalah Tony
Tantra. Tony Tantra menggunakan media kaos yang dijualnya di Bakungsari, Kuta,
pada akhir 80an, dengan label “Tony Illustration”. Tony, bersama Harris Purnama
dan Gendut Riyanto dulunya pengisi rubrik Pop Art di majalah Aktuil dengan editor
tamu Jim Supangkat.
·
2002 Majalah desain grafis pertama di Indonesia
Dimotori oleh M Arief Budiman (Petakumpet) majalah
desain grafis pertama Blank! Magazine terbit di Yogyakarta dengan visi ingin
memberdayakan orang-orang kreatif melalui sudut pandang visual yang ekstrem (To
empower creative people through extreme visual perspective). Setelah beroperasi
selama kurang lebih 2 tahun (2002-2004), Blank! Magazine harus ditutup pada 3
Maret 2004, setelah merugi lebih dari 140 juta rupiah. Penerbitan majalah ini
berlangsung hingga enam edisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar