BAB 1
(PENDAHULUAN)
1. Latar
Belakang
Yang anda baca ini adalah
kumpulan dari karangan-karangan yang diterjemahkan dari bahasa asing, yang
memuat hal-hal yang termasuk dalam pokok yang dipelajari dalam suatu cabang
ilmu pengetahuan atau disiplin yang dikenal sebagai antropologi budaya, yang
sering disingkat dengan antropologi.
Pada waktu ini banyak fakultas
hukum negeri maupun fakultas hukum swasta, pada fakultas-fakultas sastra,
fakultas ilmu sosial atau fakultas ilmu sosial-politik, pada berbagai jurusan
dari Insitut Keguruan Ilmu Pendidikan, tercantum antropologi budaya. Maksud
pada umumnya adalah supaya mahasisw atau para peminat lainnya berkenalan dengan
pokok yang disoroti oleh ilmu ini, mengenal konsep-konsep dan metoda-metoda
pendekatan yang khas dalam ilmu ini
supaya dengan demikian para mahasiswa memperoleh pemahaman mengenai kebudayaan
manusia, mengenal berbagai kebudayaan manusia, dan juga untuk memperoleh
pengertian mengenai latar belakang budaya dari perilaku manusia.
Dinegara kita dimana beragam-ragam
golongan etnis, yang dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal sebagai suku
bangsa, hidup sebagai warga dari masyarakat yang luas, semakin disadari bahwa
pemahaman mengenai latar belakang budaya yang beragam-ragam itu sangatlah
penting.
Hal yang sangat menonjolkan
pentingnya pemahaman tentang soal-soal budaya yang melatarbelakangi berbagai
masalah adalah proses perubahan sosial-budaya yang sedang berlangsung, yang
sebagian terjadi akibat atau yang mendampingi berbagai program pembangunan yang
terencana.
2. Tujuan
·
Mahasiswa
mampu mengetahui sesuatu seni atau pun kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu mengetahui perkembangan kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu menjelaskan suatu konsep tentang kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu membedakan suatu kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu belajar untuk membuat suatu kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu berinteraksi atau beradaptasi dengan seni dan kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu mengetahui asal dari suatu seni dan kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu atau dapat mengembangkan suatu seni dan kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu menilai hasil karya seni dan kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu mempelajari tentang seni dan kebudayaan
·
Mahasiswa
mampu menghasilkan suatu seni dan kebudayaan
BAB II
(PEMBAHASAN)
Antropologi Budaya sebagai Ilmu
Pengetahuan
Bila
seorang ahli antropologi hendak mempelajari kebiasaan-kebiasaan dari suatu
masyarakat tertentu, ia memerlukan penelitian lapangan. Dia akan terjun ke
masyarakat bersangkutan, tinggal disitu selama jangka waktu yang agak lama dan
mengusahakan supaya para warga masyarakat itu mempercayainya dan akan
menyampaikan pengalamannya kepadanya.
Pengetahuan informan diperoleh
melalui pengalaman, tetapi pengetahuan itu tidaklah dapat kita sebut
pengetahuan yang bersifat ilmiah, maksudnya bukanlah untuk merendahkan mutunya. Pengetahuan demikian sangat berharga
dan untuk kehidupan dalam masyarakat pengetahuan orang tua demikian sangat
tinggi nilainya.
Bila ahli antropologi yang
mengadakan penelitian lapangan itu sesudah merekam cerita-cerita informannya
menyusun suatu tulisan di mana keterangan-keterangan itu disusun dan diatur baku
dalam antropologi budaya, disuguhkan bukan sebagai kebiasaan yang dilakukan
orang-orang tertentu pada situasi-situasi tertentu saja, tetapi sebagai
perilaku yang berlaku bagi golongan tertentu dari masyarakat atau bagi
masyarakat seluruhnya, disuguhkan sesudah dilakukan pengujian atau pengecekan,
atau verifikasi mengenai kebenarannya, maka pengetahuan yang demikian ini layak
disebut ilmiah.
Kalau si informan menjejerkan saja
kisah-kisahnya, maka dalam usaha ilmiah keterangan itu perlu disusun menurut
suatu sistem (satuan yang bagian-bagian berkaitan).
Kalau kisah informan terpaut pada
orang-orang kongkret, pada waktu yang tertentu, pada tempat tertentu, dalam
karya ilmiah harus diadakan abstraksi atau harus ada pelepasan dari keterkaitan
pada hal-hal yang konkret, sehingga ucapan-ucapan yang menjadi hasilnya berada
pada tingkat yang umum.
Kalau si informan tidak
mempertanyakan kebenaran ucapannya atau tidak memeriksa konsistensi diantara
ucapan-ucapannya, dalam penyusunan karya ilmu pengetahuan itu, verifikasi atau
pengecekan kebenaran dan konsistensi-konsistensi di antara ucapan-ucapan itu,
adalah sesuatu yang dituntut.
Pengujian dalam ilmu pengetahuan
dapat bersifat intern dan dapat juga bersifat ekstern. Pengujian intern
mempunyai tujuan untuk mengadakan pengecekan apakah ada yang tidak lengkap, dan
apakah ada yang saling bertentangan dalam ucapan-ucapan mengenai yang
diutarakan. Disebutkan pengujian intern karena masih dilakukan dalam rangka
ucapan-ucapan yang dilaporkan.
Dalam pengujian yang bersifat
ekstern yang dicek adalah bagaimana hubungan diantara gambaran yang dilukiskan
oleh orang-orang yang dilaporkan/ yang diucapkan dengan objek yang dipilih
untuk menggambarkannya. Disebut pengujian ekstern, karena untuk pengecekan ini
seseorang memiliki kepada kenyataan yang ada diluar rangka ucapan-ucapan yang
dilaporkan (Becker 1977, halaman 13 dan seterusnya).
Pengujian intern adalah hal yang
terjadi pada semua yang disiplin atau ilmu pengethuan. Mengenai pengujian
ekstern terdapat perbedaan, yaitu bahwa dalam beberapa ilmu memang tidak
mungkin untuk melakukannya, atau dianggap tidak diperlukan.
Konsep Kebudayaan
Masing-masing kita menganggap
diri sebagai seorang perorangan yang memiliki pendapat-pendapat pribadi,
kegemaran-kegemaran dan keanehan-keanehan yang unik; sering kita membanggakan
diri karena dalam beberapa hal, kita masing-masing berbeda dengan orang lain. Namun
mengherankan sekali, bahwa reaksi kita serupa terhadap fenomena-fenomena
tertentu. Khususnya terhadap cara-cara berlaku atau kepercayaan yang
sangat berbeda dengan apa yang menjadi
kebisaan pada kita, maka kita
menunjukkan reaksi yang sama. Meskipun kita
memiliki sifat-sifat yang sangat menonjol perbedaannya, namun bila
berkenalan dengan pola-pola kelakuan dalam masyarakat-masyarakat lain maka
pola-pola itu akan memberi kesan yang sama pada kita.
Misalnya suku Indian Yanomamo dari
perbatasan Vanezuela Brasilia mempunyai adat tertentu yang kemungkinan besar
akan dinilai secara negatif oleh kebanyakan kita, hanya karena adat itu tidak
sesuai dengan gagasan kita tentang cara berlaku yang wajar bagi anak-anak. Bila
putra-putra Yanomamo marah pada orang tuanya dianjurkan untuk menyatakan
kemarahan itu dengan memukul orang tuanya itu. Seorang anak yang menampar muka
bapaknya atau menelempengkan kepalanya bukannya dihukum malahan dipuji. Pada
umur 4 tahun ,sebagian besar anak lelaki telah tahu, bahwa cara yang sudah
dimaklumi bersama dan disetujui, untuk menunjukkan kemarahan dalam masyarakat
mereka, adalah dengan cara memukul orang.
Karena dalam masyarakat kita dan
dalam aturan-aturan kita penggunaan kekerasan fisik dalam hubungan antar
manusia dilarang, maka adat ini tidak akan dapat diterima oleh sebagian besar
warga masyarakat. Adat sedemikian melanggar sistem sikap, nilai-nilai dan
perilaku yang kita miliki sebagai suatu masyarakat dan yang merupakan
kebudayaan kita.
Dalam
bab ini pengarang menguraikan hasil pengamatannya mengenai proses perkembangan
melukis menurut gaya tradisional dari 20 orang anak laki-laki di Bali yang
berumur 3 sampai 10 tahun. Anak-anak itu sengaja dia kumpulkan, diberi
alat-alat melukis pada saat mereka ingin melakukannya. Anak-anak itu penghuni
desa Sajan, kabupaten Gianyar. Kejadian ini sudah berlangsung lebih dari 40
tahun yang lalu, namun karena karangan ini secara demikian jelasnya menyuguhkan
deskripsi mengenai bagaimana pengaruh kebudayaan terhadap proses “penempaan”
seorang seniman, maka kamu merasa bahwa masih besar manfaatnya untuk membaca
karangan ini. “Anak di Bali sejak kecil sudah tergantung pada kondisi
kebudayaannya; dia mempelajari arti dari lambang-lambang kebudayaannya, dia
belajar untuk membiasakan sikap yang khas terhadap kesenian. Bila telah menjadi
dewasa maka dia akan menjadi seorang Bali yang menghasilkan karya kesenian dan
menjadi peminat yang menghargai kesenian, karena di Bali kesenian bukanlah
urusan dari beberapa gelintir orang saja, melainkan menjadi milik setiap orang”,
demikian antara lain diutarakan oleh pengarang.
Melalui
pengamatannya pengarang hendak mengetahui bagaimana tradisi melukis itu diwariskan
dalam masyarakat Bali.
Bab
ini erat hubungannya dengan bab Penelitian Lintas-budaya dan Kepribadian dan
dalam membaca bab ini masalahnya akan lebih jelas bila bab tersebut ditelaah
kembali.
Kesenian Bali memiliki corak dan wataknya
sendiri. Seniman-senimannya banyak dan karyanya banyak. Sifat mereka sangat
menonjol karena kesabarannya dan efisien dalam keahliannya dan sangat setia
kepad tradisi kesenian ditempatnya. Berbeda dengan seniman-seniman Barat mereka
kelihatannya mencoba menghasilkan karya yang sejauh mungkin sesuai dengan pola-pola
yang juga dipergunakan sesama seniman. Sifat khas individu dari seniman tidak
diutamakan, sebagaimana halnya seperti seniman Barat, malah mereka menekankan
justru yang sebaliknya. Kalau ada misalnya ada karya yang menampilkan citra
yang luar biasa, hal yang sangat orisinal, maka kelihatannya hal tersebut
terjadi karena sang seniman tersebut memiliki bakat yang luar biasa. Hal
tersebut terjadi bukan akibat kesengajaan, tetapi malahan masih muncul walaupun
si seniman telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa dengan
karya-karya orang lain. Dalam semua aspek seni rupa di Bali, seni lukis, seni
ukir, dalam merencanakan gambar wayang untuk wayang kulit dan mengukir
topeng-topeng, keserupaan dengan bentuk trasdisional sangat jelas tampaknya.
Hal
ini kelihatan juga dari karya seni masa yang lalu; meskipun corak-corak klasik
berubah dari abad ke abad namun setiap perioda ditandai oleh sekumpulan
kebiasaan-kebiasaan yang ditaati oleh para seniman, hal yang mirip dengan
keadaan di Eropa pada masa-masa Gothik, tanpa sedikit pun keinginan untuk
menunjukan sesuatu yang bisa dikatakan sifat khasnya sendiri. Dan bahkan
sekarang pun, ketika gerakan-gerakan “modern” yang beraneka ragam semakin
bertumbuh di Bali, kecenderungan kebanyakan para seniman Bali yang berjumlah
banyak itu kelihatannya adalah mengarah kepada penyempurnaan dirinya sendiri
dalam teknik konvensi-konvensi baru dan bukannya berusaha untuk menciptakan
gaya pribadi. Meskipun motivasi berbagai produksi kesenian dari aliran-aliran
modern ini kelihatannya secara radikal berbeda dengan masa-masa klasik, namun
masih kelihatan kecenderungan ke arah keseragaman dan bukannya ke arah
keanekaragaman. Para seniman Bali yang berbakat pada zaman modern ini,
kelihatannya memiliki kecenderungan yang sama untuk mengarahkan bakatnya kepada
keterampilan pengrajin, yang meniru dan mencontoh lagi motif-motif yang telah
diterima menurut cara-cara yang juga telah diterima, seperti yang telah
dilakukan oleh kakeknya dan generasi sebelumnya dibawah penguasa para raja.
Bila
ada kesediaan untuk mengikuti segugusan konvensi tertentu, maka ini berarti
bahwa dalam proses pemahiran diri dengan keterampilannya para seniman mengikuti
jalan pintas. Terdapatnya sejumlah besar seniman-seniman Bali, dengan sejumlah
besar hasil-hasil karyanya kemungkinan besar dapat terwujud karena masalah
mereka telah disederhanakan karena kekakuan tradisi keseniannya. Kelihatannya
dalam sistem kesenian demikian maka pribadi-pribadi yang tidak terlalu berbakat
dapat menghasilkan lukisan-lukisan yang lebih layak dipertunjukkan, yang juga
berjumlah banyak. Di sini sama sekali tidak dipersoalkan bagaimana akhirnya
nilai estetis dari karya hasil seniman Bali tetapi yang dicatat adalah fakta
bahwa kesenian tumbuh begitu subur di Bali. Dan apa pun titik tolaknya, apa pun
jenis pengaruh yang diterimanya, karya itu tampil sebagai karya yang khas Bali.
Karena
seniman di Bali bekerja di bawah kondisi yang sangat khas, maka akan menarik
untu menelusuri asal mula dari pengaruh tradisi kebudayaannya terhadapnya. Anak-anak
di Bali sejak kecil sudah tergantung pada kondisi kebudayaannya; dia
mempelajari arti dari lambang-lambang kebudayaannya; dia belajar untuk
membiasakan sikap yang khas terhadap kesenian. Bila telah menjadi dewasa maka
dia akan menjadi seorang Bali yang menghasilkan karya kesenian atau menjadi
peminat yang menghargai karya kesenian, karena di Bali kesenian bukanlah urusan
dari beberapa gelintir orang saja, melainkan menjadi milik setiap orang. Dengan
pemggunaan medium lukisan anak-anak, maka saya mencoba meneliti bagaimana
tradisi melukis tersebut diwariskan, atau ditransmisikan. Bagaimana seorang
anak meresapi pengaruhnya ? Bagaimana dia belajar menyukai cara melukiskan
sesuatu bukan menurut cara yang diinginkannya, akan tetapi menurut cara yang
sudah biasa dalam masyarakatnya.
Membandingkan
karya-karya anak Bali dengan anak-anak Eropa yang telah diteliti oleh
penulisnya (merek yang bekerja dalam suasana bebas, tidak termasuk
sekolah-sekolah yang sudah ketinggalan zaman), kesannya adalah bahwa
lukisan-lukisan anak itu, sampai dengan umur 4 tahun tidak terlalu menunjukkan
perbedaan kecenderungan-kecenderungan yang khas bagi kebudayaannya tetapi
sesudah umur itu dengan cepat sekali kelihatan,
kecenderungan-kecenderungan yang khas
bagi kebudayaan mereka. Anak-anak yang kecil sekali diseluruh dunia ingin
menggambar. Bilamana mereka tidak diarahkan, mereka akan memegang pensil
ditangannya dan membiarkannya menggoresi kertas, menghasilkan bentuk-bentuk
misterius yang hanyalah berarti bagi anak itu sendiri. Pada saat yang sama
anak-anak itu berkisah, yang isinya tidak dapat dikenal dari gambar si anak,
namun kerap kali cerita itu dapat diperas menjadi hal-hal yang agak umum. Bagi
si anak tidaklah menjadi soal bila lukisan-lukisannya tidak mengandung makna
cerita; kesenangannya adalah melukis itu sendiri dan menceritakan dongeng. Bila
keterampilan anak itu mulai berkembang, maka bentuk-bentuk yang dilukisnya
mulai menyerupai tokoh-tokoh ceritanya, akan tetapi dasar rasa senang terhadap
simbolisme tetap bertahan dan tetap merupakan segi yang paling berarti baginya bila ia menggambar. Kemudian,
diantara anak-anak yang telah diamati, sang anak mulai sadar, bahwa lukisannya
telah menjadi sesuatu yang mempunyai kedirian sendiri, suatu penampilan
simbolik tentang suatu isi tertentu, yang bisa saja ditafsirkan oleh orang lain
maupun oleh dirinya sendiri. Pada saat itu, bila kemajuannya dalam keterampilan
tidak sejajar dengan perkembangan kesadaran sosialnya, maka kekayaan fantasinya
dilumpuhkan oleh ketidakmampuannya untuk mengungkapkannya. Beberapa waktu
sesudahnya itu lagi, anak-anak tertentu akan berpendapat bahwa gambarnya tidak
memuaskannya, sehingga dia sama sekali tidak berhenti melukis. Pada saat itulah
mereka kehilangan kesenangan mencipta, salah satu hal yang tadinya telah
menjadi titik tolaknya.
Pengamatan
yang dilakukan olehnya terhadap lukisan anak Bali itu, dilakukan untuk
memperoleh kejelasan tentang cara gaya lukisan mereka berkembang, untuk
mengetahui bagaimana mereka mengadaptasikan pola-pola simbolik yang sudah “tinggal
pakai” yang diambil dari kebudayaannya untuk mengekspresikan fantasi-fantasi
mereka sendiri.
\
BAB III
(PENUTUP)
(PENUTUP)
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan menurut
pandangan saya bahwa kesenian dan kebudayaan merupakan yang sangat penting
karena ia merupakan sebuah sumber pengetahuan yang dapat dikembangkan. Kenian dan
kebudayaan juga bisa sebagai nilai pakai yang bisa diterapkan pada suatu
kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Kesenian bisa diolah dari hal yang
sederhana, jadi tidak hanya mengandalkan orang untuk bisa melakukannya, tetapi
harus belajar ataupun berlatih sendiri agar mengahasilkan suatu karya. Karna suatu
karya memiliki nilai atau gambaran sendiri tentang kehidupannya. Kita juga
tidak harus mengerti tentang konsep kesenian dan kebudayaan karna yang paling
utama yaitu bagaimana menciptakan, meghargai karya, memiliki sikap cinta
terhadap suatu kesenian dan kebudayaannya, jika sudah memilki ini maka konsep
dapat dikembangkannya dengan sendirinya.
Saran
·
Memilki
sikap nasionalis terhadap apapun
·
Mengambil
nilai-nilai yang terkandung di dalam sini
·
Menerima
perbedaan seni dan kebudayaannya dan harus dapat menjaganya
·
Mempunyai
nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam suatu kehidupan
·
Menjaga
keutuhan kesenian dan kebudayaannya dalam daerah, masyarakat maupun negara
·
Lebih
dapat mengahargai suatu seni dan kebudayaan setiap orang
·
Semoga
lebih memotivasi untuk dapat menjalankan suatu kesenian dan kebudayaan didalam
suatu kehidupan
suatu kehidupan
· Semoga
bisa menciptakan suatu kesenian yang baru dan dapat untuk dikembangkannya
Daftar Pustaka
Referensi buku
Ihromi.
T. O (1980). Pokok-pokok Antropologi
Budaya. Jakarta : PT Grandmedia Jakarta
Referensi Lainnya