Jumat, 28 April 2017

Manusia dalam Perkembangan Seni dan Teknologi



BAB 1
(PENDAHULUAN)
   1.      Latar Belakang 
Yang anda baca ini adalah kumpulan dari karangan-karangan yang diterjemahkan dari bahasa asing, yang memuat hal-hal yang termasuk dalam pokok yang dipelajari dalam suatu cabang ilmu pengetahuan atau disiplin yang dikenal sebagai antropologi budaya, yang sering disingkat dengan antropologi.
Pada waktu ini banyak fakultas hukum negeri maupun fakultas hukum swasta, pada fakultas-fakultas sastra, fakultas ilmu sosial atau fakultas ilmu sosial-politik, pada berbagai jurusan dari Insitut Keguruan Ilmu Pendidikan, tercantum antropologi budaya. Maksud pada umumnya adalah supaya mahasisw atau para peminat lainnya berkenalan dengan pokok yang disoroti oleh ilmu ini, mengenal konsep-konsep dan metoda-metoda pendekatan yang  khas dalam ilmu ini supaya dengan demikian para mahasiswa memperoleh pemahaman mengenai kebudayaan manusia, mengenal berbagai kebudayaan manusia, dan juga untuk memperoleh pengertian mengenai latar belakang budaya dari perilaku manusia.
Dinegara kita dimana beragam-ragam golongan etnis, yang dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal sebagai suku bangsa, hidup sebagai warga dari masyarakat yang luas, semakin disadari bahwa pemahaman mengenai latar belakang budaya yang beragam-ragam itu sangatlah penting.
Hal yang sangat menonjolkan pentingnya pemahaman tentang soal-soal budaya yang melatarbelakangi berbagai masalah adalah proses perubahan sosial-budaya yang sedang berlangsung, yang sebagian terjadi akibat atau yang mendampingi berbagai program pembangunan yang terencana.


   2.      Tujuan
·         Mahasiswa mampu mengetahui sesuatu seni atau pun kebudayaan
·         Mahasiswa mampu mengetahui perkembangan kebudayaan
·         Mahasiswa mampu menjelaskan suatu konsep tentang kebudayaan
·         Mahasiswa mampu membedakan suatu kebudayaan
·         Mahasiswa mampu belajar untuk membuat suatu kebudayaan
·         Mahasiswa mampu berinteraksi atau beradaptasi dengan seni dan kebudayaan
·         Mahasiswa mampu mengetahui asal dari suatu seni dan kebudayaan
·         Mahasiswa mampu atau dapat mengembangkan suatu seni dan kebudayaan
·         Mahasiswa mampu menilai hasil karya seni dan kebudayaan
·         Mahasiswa mampu mempelajari tentang seni dan kebudayaan
·         Mahasiswa mampu menghasilkan suatu seni dan kebudayaan




BAB II
(PEMBAHASAN)
Antropologi Budaya sebagai Ilmu Pengetahuan
Bila seorang ahli antropologi hendak mempelajari kebiasaan-kebiasaan dari suatu masyarakat tertentu, ia memerlukan penelitian lapangan. Dia akan terjun ke masyarakat bersangkutan, tinggal disitu selama jangka waktu yang agak lama dan mengusahakan supaya para warga masyarakat itu mempercayainya dan akan menyampaikan pengalamannya kepadanya.
            Pengetahuan informan diperoleh melalui pengalaman, tetapi pengetahuan itu tidaklah dapat kita sebut pengetahuan yang bersifat ilmiah, maksudnya bukanlah untuk merendahkan  mutunya. Pengetahuan demikian sangat berharga dan untuk kehidupan dalam masyarakat pengetahuan orang tua demikian sangat tinggi nilainya.
            Bila ahli antropologi yang mengadakan penelitian lapangan itu sesudah merekam cerita-cerita informannya menyusun suatu tulisan di mana keterangan-keterangan itu disusun dan diatur baku dalam antropologi budaya, disuguhkan bukan sebagai kebiasaan yang dilakukan orang-orang tertentu pada situasi-situasi tertentu saja, tetapi sebagai perilaku yang berlaku bagi golongan tertentu dari masyarakat atau bagi masyarakat seluruhnya, disuguhkan sesudah dilakukan pengujian atau pengecekan, atau verifikasi mengenai kebenarannya, maka pengetahuan yang demikian ini layak disebut ilmiah.
            Kalau si informan menjejerkan saja kisah-kisahnya, maka dalam usaha ilmiah keterangan itu perlu disusun menurut suatu sistem (satuan yang bagian-bagian berkaitan).
            Kalau kisah informan terpaut pada orang-orang kongkret, pada waktu yang tertentu, pada tempat tertentu, dalam karya ilmiah harus diadakan abstraksi atau harus ada pelepasan dari keterkaitan pada hal-hal yang konkret, sehingga ucapan-ucapan yang menjadi hasilnya berada pada tingkat yang umum.
            Kalau si informan tidak mempertanyakan kebenaran ucapannya atau tidak memeriksa konsistensi diantara ucapan-ucapannya, dalam penyusunan karya ilmu pengetahuan itu, verifikasi atau pengecekan kebenaran dan konsistensi-konsistensi di antara ucapan-ucapan itu, adalah sesuatu yang dituntut.
            Pengujian dalam ilmu pengetahuan dapat bersifat intern dan dapat juga bersifat ekstern. Pengujian intern mempunyai tujuan untuk mengadakan pengecekan apakah ada yang tidak lengkap, dan apakah ada yang saling bertentangan dalam ucapan-ucapan mengenai yang diutarakan. Disebutkan pengujian intern karena masih dilakukan dalam rangka ucapan-ucapan yang dilaporkan.
            Dalam pengujian yang bersifat ekstern yang dicek adalah bagaimana hubungan diantara gambaran yang dilukiskan oleh orang-orang yang dilaporkan/ yang diucapkan dengan objek yang dipilih untuk menggambarkannya. Disebut pengujian ekstern, karena untuk pengecekan ini seseorang memiliki kepada kenyataan yang ada diluar rangka ucapan-ucapan yang dilaporkan (Becker 1977, halaman 13 dan seterusnya).
            Pengujian intern adalah hal yang terjadi pada semua yang disiplin atau ilmu pengethuan. Mengenai pengujian ekstern terdapat perbedaan, yaitu bahwa dalam beberapa ilmu memang tidak mungkin untuk melakukannya, atau dianggap tidak diperlukan.


Konsep Kebudayaan
            Masing-masing kita menganggap diri sebagai seorang perorangan yang memiliki pendapat-pendapat pribadi, kegemaran-kegemaran dan keanehan-keanehan yang unik; sering kita membanggakan diri karena dalam beberapa hal, kita masing-masing berbeda dengan orang lain. Namun mengherankan sekali, bahwa reaksi kita serupa terhadap fenomena-fenomena tertentu. Khususnya terhadap cara-cara berlaku atau kepercayaan yang sangat  berbeda dengan apa yang menjadi kebisaan pada kita,  maka kita menunjukkan reaksi yang sama. Meskipun kita  memiliki sifat-sifat yang sangat menonjol perbedaannya, namun bila berkenalan dengan pola-pola kelakuan dalam masyarakat-masyarakat lain maka pola-pola itu akan memberi kesan yang sama pada kita.
            Misalnya suku Indian Yanomamo dari perbatasan Vanezuela Brasilia mempunyai adat tertentu yang kemungkinan besar akan dinilai secara negatif oleh kebanyakan kita, hanya karena adat itu tidak sesuai dengan gagasan kita tentang cara berlaku yang wajar bagi anak-anak. Bila putra-putra Yanomamo marah pada orang tuanya dianjurkan untuk menyatakan kemarahan itu dengan memukul orang tuanya itu. Seorang anak yang menampar muka bapaknya atau menelempengkan kepalanya bukannya dihukum malahan dipuji. Pada umur 4 tahun ,sebagian besar anak lelaki telah tahu, bahwa cara yang sudah dimaklumi bersama dan disetujui, untuk menunjukkan kemarahan dalam masyarakat mereka, adalah dengan cara memukul orang.
            Karena dalam masyarakat kita dan dalam aturan-aturan kita penggunaan kekerasan fisik dalam hubungan antar manusia dilarang, maka adat ini tidak akan dapat diterima oleh sebagian besar warga masyarakat. Adat sedemikian melanggar sistem sikap, nilai-nilai dan perilaku yang kita miliki sebagai suatu masyarakat dan yang merupakan kebudayaan kita.


Perkembangan Lukisan Anak-anak di Bali  (Oleh : Jane Belo)

Dalam bab ini pengarang menguraikan hasil pengamatannya mengenai proses perkembangan melukis menurut gaya tradisional dari 20 orang anak laki-laki di Bali yang berumur 3 sampai 10 tahun. Anak-anak itu sengaja dia kumpulkan, diberi alat-alat melukis pada saat mereka ingin melakukannya. Anak-anak itu penghuni desa Sajan, kabupaten Gianyar. Kejadian ini sudah berlangsung lebih dari 40 tahun yang lalu, namun karena karangan ini secara demikian jelasnya menyuguhkan deskripsi mengenai bagaimana pengaruh kebudayaan terhadap proses “penempaan” seorang seniman, maka kamu merasa bahwa masih besar manfaatnya untuk membaca karangan ini. “Anak di Bali sejak kecil sudah tergantung pada kondisi kebudayaannya; dia mempelajari arti dari lambang-lambang kebudayaannya, dia belajar untuk membiasakan sikap yang khas terhadap kesenian. Bila telah menjadi dewasa maka dia akan menjadi seorang Bali yang menghasilkan karya kesenian dan menjadi peminat yang menghargai kesenian, karena di Bali kesenian bukanlah urusan dari beberapa gelintir orang saja, melainkan menjadi milik setiap orang”, demikian antara lain diutarakan oleh pengarang.
Melalui pengamatannya pengarang hendak mengetahui bagaimana tradisi melukis itu diwariskan dalam masyarakat Bali.
Bab ini erat hubungannya dengan bab Penelitian Lintas-budaya dan Kepribadian dan dalam membaca bab ini masalahnya akan lebih jelas bila bab tersebut ditelaah kembali.
      Kesenian Bali memiliki corak dan wataknya sendiri. Seniman-senimannya banyak dan karyanya banyak. Sifat mereka sangat menonjol karena kesabarannya dan efisien dalam keahliannya dan sangat setia kepad tradisi kesenian ditempatnya. Berbeda dengan seniman-seniman Barat mereka kelihatannya mencoba menghasilkan karya yang sejauh mungkin sesuai dengan pola-pola yang juga dipergunakan sesama seniman. Sifat khas individu dari seniman tidak diutamakan, sebagaimana halnya seperti seniman Barat, malah mereka menekankan justru yang sebaliknya. Kalau ada misalnya ada karya yang menampilkan citra yang luar biasa, hal yang sangat orisinal, maka kelihatannya hal tersebut terjadi karena sang seniman tersebut memiliki bakat yang luar biasa. Hal tersebut terjadi bukan akibat kesengajaan, tetapi malahan masih muncul walaupun si seniman telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa dengan karya-karya orang lain. Dalam semua aspek seni rupa di Bali, seni lukis, seni ukir, dalam merencanakan gambar wayang untuk wayang kulit dan mengukir topeng-topeng, keserupaan dengan bentuk trasdisional sangat jelas tampaknya.
Hal ini kelihatan juga dari karya seni masa yang lalu; meskipun corak-corak klasik berubah dari abad ke abad namun setiap perioda ditandai oleh sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang ditaati oleh para seniman, hal yang mirip dengan keadaan di Eropa pada masa-masa Gothik, tanpa sedikit pun keinginan untuk menunjukan sesuatu yang bisa dikatakan sifat khasnya sendiri. Dan bahkan sekarang pun, ketika gerakan-gerakan “modern” yang beraneka ragam semakin bertumbuh di Bali, kecenderungan kebanyakan para seniman Bali yang berjumlah banyak itu kelihatannya adalah mengarah kepada penyempurnaan dirinya sendiri dalam teknik konvensi-konvensi baru dan bukannya berusaha untuk menciptakan gaya pribadi. Meskipun motivasi berbagai produksi kesenian dari aliran-aliran modern ini kelihatannya secara radikal berbeda dengan masa-masa klasik, namun masih kelihatan kecenderungan ke arah keseragaman dan bukannya ke arah keanekaragaman. Para seniman Bali yang berbakat pada zaman modern ini, kelihatannya memiliki kecenderungan yang sama untuk mengarahkan bakatnya kepada keterampilan pengrajin, yang meniru dan mencontoh lagi motif-motif yang telah diterima menurut cara-cara yang juga telah diterima, seperti yang telah dilakukan oleh kakeknya dan generasi sebelumnya dibawah penguasa para raja.
Bila ada kesediaan untuk mengikuti segugusan konvensi tertentu, maka ini berarti bahwa dalam proses pemahiran diri dengan keterampilannya para seniman mengikuti jalan pintas. Terdapatnya sejumlah besar seniman-seniman Bali, dengan sejumlah besar hasil-hasil karyanya kemungkinan besar dapat terwujud karena masalah mereka telah disederhanakan karena kekakuan tradisi keseniannya. Kelihatannya dalam sistem kesenian demikian maka pribadi-pribadi yang tidak terlalu berbakat dapat menghasilkan lukisan-lukisan yang lebih layak dipertunjukkan, yang juga berjumlah banyak. Di sini sama sekali tidak dipersoalkan bagaimana akhirnya nilai estetis dari karya hasil seniman Bali tetapi yang dicatat adalah fakta bahwa kesenian tumbuh begitu subur di Bali. Dan apa pun titik tolaknya, apa pun jenis pengaruh yang diterimanya, karya itu tampil sebagai karya yang khas Bali.
Karena seniman di Bali bekerja di bawah kondisi yang sangat khas, maka akan menarik untu menelusuri asal mula dari pengaruh tradisi kebudayaannya terhadapnya. Anak-anak di Bali sejak kecil sudah tergantung pada kondisi kebudayaannya; dia mempelajari arti dari lambang-lambang kebudayaannya; dia belajar untuk membiasakan sikap yang khas terhadap kesenian. Bila telah menjadi dewasa maka dia akan menjadi seorang Bali yang menghasilkan karya kesenian atau menjadi peminat yang menghargai karya kesenian, karena di Bali kesenian bukanlah urusan dari beberapa gelintir orang saja, melainkan menjadi milik setiap orang. Dengan pemggunaan medium lukisan anak-anak, maka saya mencoba meneliti bagaimana tradisi melukis tersebut diwariskan, atau ditransmisikan. Bagaimana seorang anak meresapi pengaruhnya ? Bagaimana dia belajar menyukai cara melukiskan sesuatu bukan menurut cara yang diinginkannya, akan tetapi menurut cara yang sudah biasa dalam masyarakatnya.
Membandingkan karya-karya anak Bali dengan anak-anak Eropa yang telah diteliti oleh penulisnya (merek yang bekerja dalam suasana bebas, tidak termasuk sekolah-sekolah yang sudah ketinggalan zaman), kesannya adalah bahwa lukisan-lukisan anak itu, sampai dengan umur 4 tahun tidak terlalu menunjukkan perbedaan kecenderungan-kecenderungan yang khas bagi kebudayaannya tetapi sesudah umur itu dengan cepat sekali kelihatan, kecenderungan-kecenderungan  yang khas bagi kebudayaan mereka. Anak-anak yang kecil sekali diseluruh dunia ingin menggambar. Bilamana mereka tidak diarahkan, mereka akan memegang pensil ditangannya dan membiarkannya menggoresi kertas, menghasilkan bentuk-bentuk misterius yang hanyalah berarti bagi anak itu sendiri. Pada saat yang sama anak-anak itu berkisah, yang isinya tidak dapat dikenal dari gambar si anak, namun kerap kali cerita itu dapat diperas menjadi hal-hal yang agak umum. Bagi si anak tidaklah menjadi soal bila lukisan-lukisannya tidak mengandung makna cerita; kesenangannya adalah melukis itu sendiri dan menceritakan dongeng. Bila keterampilan anak itu mulai berkembang, maka bentuk-bentuk yang dilukisnya mulai menyerupai tokoh-tokoh ceritanya, akan tetapi dasar rasa senang terhadap simbolisme tetap bertahan dan tetap merupakan segi yang paling berarti  baginya bila ia menggambar. Kemudian, diantara anak-anak yang telah diamati, sang anak mulai sadar, bahwa lukisannya telah menjadi sesuatu yang mempunyai kedirian sendiri, suatu penampilan simbolik tentang suatu isi tertentu, yang bisa saja ditafsirkan oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Pada saat itu, bila kemajuannya dalam keterampilan tidak sejajar dengan perkembangan kesadaran sosialnya, maka kekayaan fantasinya dilumpuhkan oleh ketidakmampuannya untuk mengungkapkannya. Beberapa waktu sesudahnya itu lagi, anak-anak tertentu akan berpendapat bahwa gambarnya tidak memuaskannya, sehingga dia sama sekali tidak berhenti melukis. Pada saat itulah mereka kehilangan kesenangan mencipta, salah satu hal yang tadinya telah menjadi titik tolaknya.
Pengamatan yang dilakukan olehnya terhadap lukisan anak Bali itu, dilakukan untuk memperoleh kejelasan tentang cara gaya lukisan mereka berkembang, untuk mengetahui bagaimana mereka mengadaptasikan pola-pola simbolik yang sudah “tinggal pakai” yang diambil dari kebudayaannya untuk mengekspresikan fantasi-fantasi mereka sendiri.


\

BAB III
(PENUTUP)

Kesimpulan
            Jadi dapat disimpulkan menurut pandangan saya bahwa kesenian dan kebudayaan merupakan yang sangat penting karena ia merupakan sebuah sumber pengetahuan yang dapat dikembangkan. Kenian dan kebudayaan juga bisa sebagai nilai pakai yang bisa diterapkan pada suatu kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Kesenian bisa diolah dari hal yang sederhana, jadi tidak hanya mengandalkan orang untuk bisa melakukannya, tetapi harus belajar ataupun berlatih sendiri agar mengahasilkan suatu karya. Karna suatu karya memiliki nilai atau gambaran sendiri tentang kehidupannya. Kita juga tidak harus mengerti tentang konsep kesenian dan kebudayaan karna yang paling utama yaitu bagaimana menciptakan, meghargai karya, memiliki sikap cinta terhadap suatu kesenian dan kebudayaannya, jika sudah memilki ini maka konsep dapat dikembangkannya dengan sendirinya.


Saran
                  ·         Memilki sikap nasionalis terhadap apapun
                  ·         Mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalam sini
                  ·         Menerima perbedaan seni dan kebudayaannya dan harus dapat menjaganya
                  ·         Mempunyai nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam suatu kehidupan
                  ·         Menjaga keutuhan kesenian dan kebudayaannya dalam daerah, masyarakat maupun negara
                  ·         Lebih dapat mengahargai suatu seni dan kebudayaan setiap orang  
                  ·         Semoga lebih memotivasi untuk dapat menjalankan suatu kesenian dan kebudayaan didalam 
                       suatu kehidupan
                  ·         Semoga bisa menciptakan suatu kesenian yang baru dan dapat untuk dikembangkannya
 




Daftar Pustaka
Referensi buku
Ihromi. T. O (1980). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : PT Grandmedia Jakarta
Referensi Lainnya